Selembar Lima Puluh Ribuan


Dilla mengayuh sepedanya dengan riang. Sore ini dia akan menjemput Adhe. Rencananya, mereka akan bersepeda di tanah lapang. Sore-sore begini, di lapangan pasti ramai. Akan banyak anak-anak yang bermain.
            Sesampainya di depan pintu rumah Adhe, Dilla lalu mengetuk pintu rumah Adhe.
            “Tok ... tok ... tok ....”
Dilla   : “Assalamualaikum!”
            Setelah dibukakan pintu, Dilla kemudian masuk. Begitu masuk, Dilla kaget melihat Adhe yang sedang menangis tersedu-sedu di ruang tamu.
Dilla   : “Kenapa Dhe? Kok nangis?”
Adhe  : “Uang... uang yang dititipin mamaku hilang!”
Dilla   : “Hilang? Emangnya uang itu kamu taruh di mana?”
Adhe  : “Di..... di meja dekat telepon (sambil menunjuk tempat itu). Tadi, sebelum mama berangkat menjenguk Bu RT di rumah sakit, mama nitipin uang lima puluh ribu untuk dikasih ke Mbak Tati. Rencananya uang itu buat bayar jahitan sama Mbak Tati. Tapi... tapi... tahu-tahu uang itu udah hilang.”
            Karina menghela napas pendek. Memerhatikan ruang tamu rumah Adhe.
Dilla   : “Emangnya tadi ada yang datang ke sini sebelum aku?”
Adhe  : “(Sambil mengusap air mata, dia mengangguk. Lantas ia bercerita). Tadi jam empat saat selesai shalat ashar, Andre tukang kebun Bu Hikmah datang nganterin surat. Andre sempat duduk sih sekitar sepuluh menitan, soalnya aku masih ganti mukena sebelum ia berpamitan. Terus jam setengah lima, Azlan yang petugas hansip datang buat nagih uang keamanan bulanan. Tapi pas aku mau ngasih uang itu, tiba-tiba telepon bunyi.”
Dilla   : “Nah, itu aku yang nelpon buat pastiin kita jadi main sepeda apa enggak.”
Adhe  : “Ya. Memang kamu yang nelpon.”
Dilla   : “Terus, apa masih ada lagi yang datang?”
Adhe  : “(Sambil mengangguk) Jam lima lewat lima belas datang Bagus adiknya Ariqah yang mau minjam kalkulator. Aku lalu mengambilnya di kamar dan aku kasih ke Bagus.”
Dilla   : “Ada lagi nggak?”
Adhe  : “Kayaknya itu aja deh.”
Dilla   : “Oke, berarti ada tiga orang yang datang ke sini. Terus kamu sempat ngeliat uang itu di meja deket telepon?”
Adhe  : “(Ia menggeleng) Itulah masalahnya Dill, aku nggak lihat uang itu.”
Dilla   : “Kamu nggak lihat?”
Adhe  : “Aku nggak perhatiin. Pas ku lihat jam di dinding, ternyata udah jam setengah enam dan aku siap-siap nunggu kamu Dill. Nah, saat itulah aku baru ingat uang itu yang ternyata..... udah nggak ada di tempatnya.”
            Dilla tersenyum, walau menyesali kecerobohan Adhe. Seharusnya uang itu segera disimpannya atau sekedar untuk di kantongi saja.
Dilla   : “Udahlah sambil bersepeda, yuk kita datangi ketiga orang itu.”
Adhe  : “Kamu mau ngapain?”
Dilla   : “Kita lihat aja dulu, kalau kita beruntung uang itu pasti dapat kembali dan yang mengambil pun bisa diketahui.”
            Adhe dan Dilla segera mengendarai sepedanya. Tujuan pertama mereka adalah rumah Ariqah, karena rumahnya yang paling dekat. Setelah sampai mereka berdua segera mengetuk pintu rumah Ariqah.
            “Tok ... tok ... tok ....”
            “Assalamualaikum! (mereka berdua mengucapkan salam)”
Ariqah:            “Wa’alaikum salam. Hei ayo masuk, masuk. Kalian mau main sepeda ya?”
            Dilla dan Adhe mengangguk.
Ariqah:            “Mau ngambil kalkulator ya, Dhe? Thanks ya udah dipinjemin. Soalnya aku nggak tau tuh, kalkulator yang biasa ku pakai ke mana.”
            Kemudian Ariqah mengambil kalkulator milik Adhe. Saat Ariqah mengambil kalkulator milik Adhe, Bagus muncul dengan keringat yang banyak. Ia berhati-hati saat menanyakan soal uang mamanya yang hilang pada Bagus.
Adhe  : “Gus, tadi kan kamu ke rumah kakak buat minjem kalkulator. Kamu ada ngeliat nggak uang kakak ?”
Bagus:  “Wah..... aku nggak ngeliat tuh, kak. Memangnya kakak taruh di mana dan berapa?”
Dilla   : “(Dilla lalu menyahut) Di taruh di dekat telepon Gus, lima puluh ribu!”
Bagus : “Waah banyak sekali. Kalau dibeliin layangan, aku pasti bisa punya banyak tuh.”
Adhe  : “Ya udah ,Gus, ntar kakak cari lagi. Makasih ya...”
Bagus : “Ya sama-sama, kak.”
            Setelah Ariqah mengembalikan kalkulator itu, Adhe dan Dilla kemudian berpamitan. Saat mengayuh sepeda, tiba-tiba mereka melihat Azlan. Segera saja mereka menghampirinya.
Adhe  : “Zlan kamu lihat uangku nggak?”
Azlan : “Uang? Berapa?”
Adhe  : “Lima puluh ribu, Zlan. Itu uang mama yang harus aku kasihin ke Mbak Tati.”
Azlan : “Wah... maaf ya Dhe, aku nggak ngelihat tuh. Buat apa aku mengambilnya? Kan mencuri itu dosa!”
Adhe  : “Ng.... Maafin aku ya, Zlan. Aku bingung banget soalnya aku harus bilang apa sama mama.”
Azlan : “Ya, nggak apa-apa. Tapi kamu harus berterus-terang pada ibumu.”
Adhe  : “Iya, Zlan. Thanks ya (sambil menaiki sepeda lagi begitu pula Dilla).”
Azlan : “Lain kali, Dhe jangan taruh uang di sembarang tempat dong. Masa uang diletakkan di meja deket telepon begitu. Itu sama aja memancing pencuri.”
Adhe  : “Iya, Zlan (setengah dongkol dan bingung karena malah ia yang dinasehati).”
            Mereka berdua kembali bersepeda menuju rumah Bu Hikmah untuk menghampiri Andre, kebetulan ia sedang menyirami bunga.
Dilla   : “Ndre, kamu liat nggak uang Adhe?”
Andre : “Waduh... aku nggak ngeliat tuh.”
Dilla   : “Maaf ya, Ndre. Pas Adhe ganti mukena, kamu ngapain aja?”
Andre : “Aku.... ya duduk sambil baca-baca koran.”
Dilla   : “Tidak mengambil uang itu?”
Andre : “(Sambil tertawa dan sedikit kaget atas ucapan Dilla) Ya nggaklah. Meskipun aku ini cuma tukang kebun di rumah ini, aku nggak pernah berani menyentuh barang yang bukan punyaku. Apalagi sampai mengambilnya!”
Dilla   : “Iya-iya, Ndre. Maaf deh aku udah berburuk sangka.”
Andre : “Iya nggak pa-pa. Oh ya, Dhe. Memangnya uang itu kamu taruh di mana?”
Adhe  : “Di dekat telepon.”
Andre : “Yo wes kalo gitu, aku kerja dulu ya... Maaf ya, aku nggak bisa bantu kalian.”
Adhe  : “Ya, nggak pa-pa, Ndre.”
            Keduanya kemudian berpamitan pulang. Dilla hanya bisa terdiam tanpa kata. Sementara Adhe masih bingung lantaran belum menemukan kepastian soal uang mamanya yang hilang itu. Sambil mengayuh sepeda tiba-tiba.....
Dilla   : “(Sambil tersenyum) Kayaknya aku harus ambil uangku lalu kukasih ke Mbak Tati.”
Adhe  : “Aku juga mikirin itu, Dill.”
Dilla   : “Tapi, kamu harus tetep berterus terang sama mamamu, Dhe. Kamu memang harus mengakui kalau kamu udah bikin uang itu hilang. Karena kamu udah lalai dari amanat yang telah menjadi kewajibanmu, Dhe (masih dengan bersenyum).”
Adhe  : “Iya, Dill (Sambil menjawab dengan bingung lantaran Dilla tersensum terus).”
Dilla   : “Nah, sekarang kita ke tempat Azlan yuk!”
Adhe  : “(Dengan bingungnya) Lho, kita kan udah ke tempatnya Azlan tadi. Kita juga udah tanya ke dia dan dia bilang dia nggak tau.”
Dilla   : “Dia lihat uang itu dan dia yang ngambil uang itu, Dhe.”
Adhe  : “(Dengan terkaget-kaget) Mengambilnya? Kok kamu bisa bilang dia yang ngambil sih Dill?”
Dilla   : “Sebelumnya aku nggak menyadarinya. Tapi setelah diingat-ingat, aku baru sadar, Dhe. Ingat kan, Bagus dan Andre sama-sama menanyakan di mana uang itu kamu ditaruh. Sementara Azlan, dia pertama bilang kalau dia tidak melihat uang itu, lalu dia menasihatimu agar jangan taruh uang di dekat meja telepon lagi. Kalau dia nggak liat  uang itu, dari mana dia tau kalau uang itu ditaruh di deket meja telepon? Dan seingatku, kita juga nggak bilangkan uang itu ditaruh di mana!”
            Setelah terdiam sejenak Adhe berkata
Adhe  : “(Sambil mengangkat kepalanya) Oh iya Dill, hebat! Kamu benar.”
            Mereka berdua pun segera menghampiri Azlan. Azlan tidak bisa mengelak lagi. Akhirnya
Azlan : “Iya, Dhe memang aku yang udah ngambil uang itu. Aku berjanji lain kali tidak akan berbuat seperti ini lagi.”
Adhe  : “Ya, Zlan aku maafin kamu kok asal kamu janji nggak ulangin lagi ya!”
Azlan : “ Ya aku janji.”

0 komentar:

Posting Komentar

Pilih Bahasa mu

Cat clock

Kalender

acak bibir


ShoutMix chat widget

Ketukan Hati

tanda tangan ku

Ayo taubat !!!!

pengunjungku

Kawan.Kawan'Q